• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Apakah seorang hamba masuk surga karena amalnya?



Apakah seorang hamba masuk surga karena amalnya?
Ini merupakan masalah yang sangat penting, yang telah disalahpahami oleh beberapa kelompok yang tidak memahami agama Islam secara benar. Kami katakan,
“Amal shalih seorang hamba merupakan penyebab masuk surga.”
Alloh Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. az-Zukhruf: 72)
Dan Alloh juga berfirman:
ادْخُلُواْ الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
‘Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. an-Nahl: 32)
Huruf ب (ba’) dalam ayat di atas disebut ba’ sababiyah (yang menunjukkan arti sebab). Artinya, dengan sebab amal-amal kalian.

Adapun hadits Nabi -shallallallahu ‘alahi wa sallam- bahwa beliau bersabda:
لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ أَحَدٌ بِعَمَلِهِ قِيْلَ وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَتِهِ
“Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya. Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Alloh telah memberikan rahmat kepadaku.” (HR. Bukhari 5673, Muslim 2816)
Huruf ب (ba’) pada hadits ini disebut ba’ iwadh wal muqabalah (yang menunjukkan sebagai ganti). 
 
Seperti orang mengatakan (misalnya), “Aku membeli kitab dengan seribu rupiah.” Jadi, maksud hadits ini amal hamba itu bukanlah sebagai ganti harga surga, namun karena kemurahan, rahmat, dan karunia Alloh.

Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (8/70), muridnya –al-Hafizh Ibnul Qayyim– dalam Miftah Dar as-Sa’adah (1/119-120), al-Allamah Ibnu Abil Izzi al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Thahawiyah (hal. 438), al-Allamah Ahmad bin Ali al-Miqrizi dalam Kitab Tajrid Tauhid Mufid (hal. 108-109). Memang, di sana ada penjelasan lainnya dalam mengkompromikan antara ayat dengan hadits di atas sebagaimana dipaparkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (13/85-86). Silakan melihatnya.

Dan dalam masalah ini ada dua kelompok yang tersesat:
Kelompok pertama, yaitu orang-orang yang mengimani takdir tanpa mengambil sebab-sebab yang disyari’atkan serta amalan-amalan shalih sehingga mereka kufur terhadap kitab-kitab dan para rasul Alloh.

Kelompok kedua, yaitu orang-orang yang menuntut pahala dari Alloh layaknya pekerja pada majikannya, karena mereka beranggapan penuh akan kebaikan amal mereka. Kelompok ini adalah manusia-manusia jahil dan tersesat, sebab bila Alloh memerintah atau melarang hamba-Nya, itu bukan berarti Alloh butuh terhadap mereka, tetapi demi kebaikan mereka sendiri. (lihat Majmu’ Fatawa 8/71)

Ustadz Abu Ubaidah Yusuf

Bersyukur Dalam Islam


Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada ALLAH SWT terdiri dari empat komponen. 

1. Syukur dengan Hati Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh, baik besar, kecil, banyak maupun sedikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan ALLAH. ALLAH SWT berfirman, Segala nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari ALLAH. (QS. An-Nahl: 53) 

Syukur dengan hati dapat mengantar seseorang untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan, betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini akan melahirkan betapa besarnya kemurahan da kasih sayang ALLAH sehingga terucap kalimat tsana’ (pujian) kepada-NYA.

2. Syukur dengan Lisan Ketika hati seseorang sangat yakin bahwa segala nikmat yang ia peroleh bersumber dari ALLAH, spontan ia akan mengucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi ALLAH). Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat dari seseorang, lisannya tetap memuji ALLAH. 

Sebab ia yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang ALLAH kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya. Al pada kalimat Alhamdulillah berfungsi sebagi istighraq, yang mengandung arti keseluruhan. Sehingga kata alhamdulillah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah ALLAH SWT, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-NYA. 

Oleh karena itu, kita harus mengembalikan segala pujian kepada ALLAH. Pada saat kita memuji seseorang karena kebaikannya, hakikat pujian tersebut harus ditujukan kepada ALLAH SWT. Sebab, ALLAH adalah Pemilik Segala Kebaikan.

3. Syukur dengan Perbuatan Syukur dengan perbuatan mengandung arti bahwa segala nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhoi-NYA. 

Misalnya untuk beribadah kepada ALLAH, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya. Nikmat ALLAH harus kita pergunakan secara proporsional dan tidak berlebihan untuk berbuat kebaikan. Rasulullah saw menjelaskan bahwa ALLAH sangat senang melihat nikmat yang diberikan kepada hamba-NYA itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya. 

Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya ALLAH senang melihat atsar (bekas/wujud) nikmat-NYA pada hamba-NYA. (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr) Maksud dari hadits di atas adalah bahwa ALLAH menyukai hamba yang menampakkan dan mengakui segala nikmat yang dianugerahkan kepadanya. 

Misalnya, orang yang kaya hendaknya menampakkan hartanya untuk zakat, sedekah dan sejenisnya. Orang yang berilmu menampakkan ilmunya dengan mengajarkannya kepada sesama manusia, memberi nasihat dsb. 

Maksud menampakkan di sini bukanlah pamer, namun sebagai wujud syukur yang didasaari karena-NYA. ALLAH SWT berfirman, Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur). (QS. Adh-Dhuha: 11) 

4. Menjaga Nikmat dari Kerusakan Ketika nikmat dan karunia didapatkan, cobalah untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, usahakan untuk menjaga nikmat itu dari kerusakan. Misalnya, ketika kita dianugerahi nikmat kesehatan, kewajiban kita adalah menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit. Demikian pula dengan halnya dengan nikmat iman dan Islam. 

Kita wajib menjaganya dari “kepunahan” yang disebabkan pengingkaran, pemurtadan dan lemahnya iman. Untuk itu, kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam kita dengan sholat, membaca Al-Qur’an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdoa. 

Kita pun harus membentengi diri dari perbuatan yang merusak iman seperti munafik, ingkar dan kemungkaran. 

Intinya setiap nikmat yang ALLAH berikan harus dijaga dengan sebaik-baiknya. ALLAH SWT menjanjikan akan menambah nikmat jika kita pandai bersyukur, seperti pada firmannya berikut ini, La’insyakartum la’aziidannakum wa la’inkafartum ‘inna ‘adzaabii lasyadiid (Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-KU), sungguh adzab-KU sangat pedih. (QS. Ibrahim: 7)

Rukun Puasa


Rukun puasa, baik puasa wajib ataupun sunat adalah :
  1. Niat di waktu malam antara maghrib sampai sebelum subuh setiap hari dalam puasa wajib (puasa Ramadlan/puasa qodo/puasa nadzar/puasa kifarat). Tempatnya niat adalah di dalam hati yakni menghadirkan hakikat puasa yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa di siang hari. Tidaklah cukup berniat hanya dengan ucapan saja tanpa dengan hati, karena niat dengan ucapan hanyalah sunat. Niat yang diucapkan dimaksudkan agar ucapan niat tersebut membantu fokusnya kita dalam menghadirkan niat yang sesungguhnya di dalam hati. 

    Jika ada kasus, seseorang niat puasa pada malam pertama bulan Ramadlan dengan niat ditujukan untuk keseluruhan puasa dalam 1 bulan, maka dalam mazhab Syafi'i, tidaklah sah puasanya selain puasa pada hari pertama saja, namun niat seperti itu tetap disunatkan untuk menjaga ketika lupa tidak niat pada malam tertentu. Sehingga jika mengalami lupa niat pada malam tertentu, tetapi pada malam pertama niatnya ditujukan untuk keseluruhan puasa, maka sahlah puasa yang tanpa niat tersebut. Berbeda jika pada malam pertamanya tidak pakai niat untuk keseluruhan, maka puasa yang tanpa niat tersebut tidak sah dan harus diganti pada hari yang lainnya setelah Ramadlan.

    Contoh kasus lain yaitu jika ada seseorang merasa ragu apakah niatnya itu dilakukan sebelum fajar atau sesudah fajar? Maka yang demikian itu tidak sah puasanya. Berbeda dengan niat puasa sunat, maka tidak harus dilakukan pada malam hari, tapi bisa dilakukan siang hari sebelum saat sholat zhuhur tiba, dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, jima, keluar haid, nifas, dan lainnya. 

    Adapun bagi sahabat yang terbiasa memakai niat yang dilafadzkan, ucapan niat puasa Ramadhan adalah : 

    NAWAITU SHOUMA GHODIN ‘AN ADAA-IN FARDLI ROMADLOONA HADZIHIS SANATI IIMANAN WAHTISAABAN LILLAHI TA’AALA.

    Bagi mereka yang tidak suka niatnya diucapkan, maka cukup dalam hati saja.
  2. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa secara sadar tanpa paksaan, seperti makan walaupun sedikit, minum walau setetes, jima dan lainnya.
  3. Orang yang berpuasanya.

Syarat Sah Puasa


Adapun syarat sah puasa,  baik puasa fardu maupun sunat adalah : 
  1. Islam,  maka tidak sah jika ada orang kafir atau murtad berpuasa.
  2. Berakal,  maka tidak sah jika orang gila atau anak kecil yang belum baligh berpuasa.
  3. Suci dari haid,  nifas dan tidak sedang melahirkan. Haram bagi yang haid dan nifas, menahan dari hal yang membatalkan puasa sambil niat puasa, jika tak ada niat seperti itu maka boleh-boleh saja menahan untuk menghormati orang yang berpuasa.
  4. Mengetahui bahwa waktu/hari tersebut merupakan awal puasa atau disunatkannya/diperbolehkannya puasa,  baik melalui melihat hilal atau pengumuman pemerintah.  Adapun hari-hari yang tidak diperbolehkan puasa adalah hari raya idul fitri dan idul adha serta hari tasyriq,  yakni 3 hari setelah idul adha.

Tata Cara dan Tuntunan Shalat Tarawih


Salah satu shalat sunnah yang pelaksanaanya disunatkan dilakukan secara berjamaah adalah shalat tarawih. Jika ditilik dari asal kata, arti shalat tarawih adalah pendinginan atau penyegaran. Pendinginan dari apa ? Para sahabat jika melaksanakan shalat tarawih, selalu melamakan berdiri ketika shalatnya dengan memperbanyak membaca Al Quran disertai khusyu dan menghadirkan maknanya. Agar energi pulih kembali, setiap habis 2 salam, mereka istirahat dulu selama beberapa menit sambil menunggu orang yang melaksanakan tawaf 7 putaran. Kalau Anda menonton channel TV Arab Saudi, Anda bisa membuktikannya pada acara shalat tarawih langsung.

Hal ini justru kontradiktif dengan situasi zaman sekarang yang justru shalat tarawih dilaksanakan dengan secepat kilat. Yang menjadi masalah adalah, ditakutkan jika shalat tersebut dilaksanakan dengan cepat, rukun-rukun shalat seperti thumaninah, bacaan wajib dan gerakan shalat lainnya, tidak dilakukan secara sempurna. Nah, kalau tidak dilakukan secara sempurna, maka tak jadilah shalatnya.

Dalil shalat tarawih
Asal mula adanya shalat tarawih adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim : "Sesungguhnya Rasul keluar rumah pada saat tengah malam di beberapa malam di bulan Ramadhan. Kemudian beliau shalat di masjid dan orang-orang pun mengikuti shalat beliau sampai akhirnya semakin banyak. Namun pada malam ke empat, beliau tidak keluar rumah. Beliau bersabda : Aku takut kalian menganggap shalat malam ini sebagai shalat fardu, karena kalian tidak akan mampu".

Ada juga hadits lain riwayat Imam Baihaqi dengan sanad shahih : "Sesungguhnya mereka melaksanakan shalat lail di zaman Umar bin Khathab r.a di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat".

Bahkan Imam Malik dalam kitabnya Al Muwatho meriwayatkan bahwa shalat lail tersebut dilakukan sebanyak 23 rakaat. Imam Baihaqi menyimpulkan bahwa yang 23 raka'at tersebut adalah 20 rakaat shalat tarawih  dan 3 rakaat shalat witir.


Jumlah rakaat shalat tarawih
Tidak ada hadits shahih yang secara tegas menyatakan bahwa shalat tarawih ada 20 rakaat. Hanya ada hadits dhoif yang menyatakan shalat tarawih ada 20 rakaat. Tapi jumlah shalat tarawih 20 rakaat ternyata telah disepakati oleh para sahabat Nabi dan ulama fiqih. Menurut pendapat 3 Imam, yakni Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah, shalat tarawih dilakukan sebanyak 20 rakaat, dengan satu salam setiap 2 rakaat, bagi muslim di luar Madinah. Sedangkan khusus bagi muslim yang sedang berada di kota Madinah, hukumnya diperbolehkan melaksanakan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat. Yang dimaksud warga Madinah adalah setiap orang yang sedang berada di kota Madinah, baik pribumi maupun tamu. Sehingga, bagi mereka yang kebetulan sedang ada di Madinah tetapi tidak sempat melakukan shalat tarawih pada malam tertentu, maka shalat tarawih yang ditinggalkan tersebut boleh diqadha sebanyak 36 rakaat, walaupun qadhanya tidak dilaksanakan di kota Madinah. Berbeda masalah, kalau suatu malam kita tidak sempat melaksanakan shalat tarawih di Jeddah, kemudian kita pergi ke Madinah, maka apabila shalat tarawih tersebut mau diqadha, maka cukup mengqadha sebanyak 20 rakaat saja.

Mengapa ahli Madinah melakukan shalat tarawihnya sebanyak 36 rakaat ? Karena hal ini untuk sedikit mengimbangi ahli Mekkah. Di Mekkah, setiap selesai 2 salam, dilaksanakan thawaf dulu sebanyak 7 keliling, kecuali pada 2 salam terakhir. Total ada 4 kali melakukan thawaf ketika shalat tarawih, yakni setelah tarawih 4, 8, 12 dan 16 rakaat. Maka thawaf tersebut diganti oleh ahli Madinah dengan 4 rakaat shalat tarawih, jadi ada 16 rakaat tambahan sebagai pengganti thawaf.

Karena shalat tarawih harus dilaksanakan 2 rakaat-2 rakaat dengan satu salam, maka tidak sah melaksanakan shalat tarawih sebanyak 4 raka'at dengan satu salam, karena itulah yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat Nabi. Jika Anda melakukan 4 rakaat dengan satu salam dengan sengaja dan sudah tahu atas ketidakbolehannya, maka tidak sah shalat tarawihnya. Jika tidak tahu, maka sah shalatnya namun masuk kategori shalat sunat mutlak.

Berbeda dengan shalat sunat qabliyyah atau ba'diyyah fardu seperti qabliyyah zhuhur, maka bolehlah dilaksanakan 4 rakaat sekaligus dengan satu salam.  Kecuali jika mengqadha shalat qabliyyah dzuhur setelah melaksanakan ba'dyyah zhuhur, maka itu tidak diperbolehkan dilakukan dengan satu salam karena berbeda niat shalatnya, demikian menurut Imam Ibnu Hajar. Begitu juga dengan shalat dhuha, jika Anda melaksanakannya sebanyak 8 rakaat, boleh dilakukan sekaligus dengan satu salam.

Tata cara shalat tarawih
Shalat tarawih sama halnya dengan shalat biasa pada umumnya, membaca iftitah, dzikir sunat lainnya, membaca tasyahud, du'a dan lain sebagainya.

Niat shalat tarawih
Tidaklah sah apabila melaksanakan tarawih dengan niat shalat mutlak, tetapi harus ditentukan, seperti :

اصلي ركعتىن من التراويح

USHALLII RAK'ATAINI MINATTARAAWIIHI
atau

اصلي ركعتىن من قيام رمضان

USHALLII RAK'ATAINI MIN QIYAAMI RAMADHAANA
atau

اصلي سنة التراويح

USHALLII SUNNATAT TARAAWIIHI

Bacaan shalat tarawih
Membaca keseluruhan surat dari Al Quran pada shalat tarawih pada seluruh malam di bulan Ramadhan dipandang lebih utama daripada membaca surat Al Ikhlash berkali-kali. Caranya bacalah 1 juz dalam semalam. Disunatkan membacanya secara tartil dan jelas. Bahkan ada keterangan dari ulama bahwa ada sebagian masyarakat yang ketika shalat tarawih hanya membaca surat Al Ikhlas 3 kali tiap rakaat terakhir dan ini termasuk hal yang tidak dianjurkan.

Waktu shalat tarawih
Shalat tarawih dilakukan setelah shalat isya dan batas terakhirnya adalah terbitnya fajar shadiq. Jadi shalat tarawih akan sah jika dilakukan shalat isya terlebih dahulu, walaupun shalat isyanya dijama taqdim dengan shalat maghrib. Shalat tarawih di awal waktu, yakni pada jangkaun seperempat malam pertama, lebih utama daripada melaksanakannya pada menjelang pertengahanan malam tapi setelah tidur terlebih dahulu, karena makruh jika tidur sebelum melaksanakan shalat Isya.


Sumber :
Nihayatuz Zaini : 114
Al Adzkar : 166
I'aanathut Thaalibiin : 265-266
Miizanul Kubra I : 184
Minhaajul Qawiim : 66

Bacaan Dzikir Setelah Sholat Wajib


Seorang muslim yang baik, tentunya tak akan meninggalkan bacaan dzikir yang dianjurkan dibaca setelah melaksanakan shalat wajib. Tidak bagus rasanya kalau setelah melaksanakan salam dari shalat, langsung berdiri dan langsung meninggalkan tempat shalat tanpa basa-basi dulu. Mungkin kalau diumpamakan pada tamu yang meninggalkan tempat yang disinggahinya tanpa izin lebih dahulu, tak ada perkataan lain yang lebih tepat untuk menjuluki dia kecuali julukan tamu kurang beradab. Apalagi ini yang telah kita hadapi adalah Allah SWT, maka alangkah baiknya jika ritual setelah shalat wajib tadi dilanjutkan dengan dzikir dan berdoa, sebagai tanda dari kelemahan diri kita dan tanda merasa butuh kita kepada-Nya. 

Memang, bacaan dzikir setelah shalat wajib ini, bukan merupakan sebuah keharusan atau wajib hukumnya secara syar’i. Cuma mungkin kalau dilihat dari segi hubungan kehambaan kita dengan Khaliqnya, maka dzikir dan berdoa ini merupakan sebuah sarana dalam berhubungan dengan-Nya, baik dikala kita sedih atau butuh sesuatu sebagai tanda kekurangan kita, atau dikala kita bahagia sebagai tanda syukur kepada-Nya. 

Adapun untuk membaca bacaan dzikir setelah shalat wajib, kita bebas membaca apa saja sesuai dengan kemampuan dan apa yang kita hafal. Mau baca istighfar, tasbih, tahlil, hamdallah, shalawat, ayat-ayat Al Quran dan lain sebagainya. Namun agar bacaan kita lebih terarah, berikut ini Saya tuliskan beberapa bacaan dzikir setelah shalat wajib yang diambil dari hadits Nabi yang shahih. 

أَسْتَغْفِرُ اللهَ


Astaghfirullaah (3x) 

Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung 

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَـا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ


Allaahumma antas salaamu, wa minkas salaamu, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam 

Ya Allah, Engkau Maha Sejahtera, dan dari-Mu lah kesejahteraan, Maha Berkat Engkau ya Allah, yang memiliki kemegahan dan kemuliaan 

اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، لاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ


Allaahumma laa maani’a limaa a’thaita walaa mu’thiya limaa mana ‘ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu 

Ya Allah, tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi pemberian-Mu, dan tak ada pula sesuatu yang dapat memberi apa-apa yang Engkau larang, dan tak ada manfaat kekayaan bagi yang mempunyai, kebesaran bagi yang dimilikinya, kecuali kekayaan dan kebesaran yang datang bersama ridha-Mu 

اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ


Allaahumma a'innii 'alaa dzikrika wasyukrika wahusni 'ibaadatik

Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu 

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ



Laailaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku walahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syai'in Qodiir',  laa haula walaa quwwata ilaa billaah 

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan upaya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah 

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ


laa ilaaha illallahu walaa na'budu ilala iyyaahu, lahun na'matu walahul fadlu, walahuts tsanaa-ul hasan

Tidak ada tuhan selain Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada Allah, milik-Nya-lah segala kenikmatan, karunia, dan sanjungan yang baik, 

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ


Laa ilaaha illallaahu mukhlisiina lahud diina walau karihal Kaafirun. 

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, kami mengikhlashkan agama untuk-Nya walaupun orang-orang kafir benci. 

سُبْحَانَ اللهِ


Subhaanallaah  (33x)

Maha Suci Allah

الْحَمْدُ لِلَّهِ


Alhamdulillaah  (33x)

Segala puji bagi  Allah

الله أكبر


Allaahu akbar (33x)

Allah Maha Besar

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْـدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ



Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syain qadiir 

Tidak ada Tuhan selain Allah, sendiri-Nya; tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya lah kerajaan dan pujian. Dia Maha Kuasa atas segala-galanya.

Syarat Wajib Puasa


Syarat wajib puasa Ramadhan adalah :
  1. Islam atau pernah memeluk Islam, sehingga wajib juga berpuasa bagi orang yang murtad, walaupun puasanya tidak sah.
  2. Taklif artinya berakal dan balig, maka tidak wajib puasa bagi anak kecil, orang gila, pingsan dan yang mabuk. Namun wajib mengqodo puasa bagi mereka yang pingsan dan mabuk.
  3. Kuat berpuasa, maka tidak wajib berpuasa bagi mereka yang tak mampu seperti tua renta dan yang sakit.
  4. Sehat sehingga tidak wajib berpuasa bagi yang sakit jika sekiranya dengan puasa tersebut bisa menambah parah penyakitnya.
  5. Muqim. Maka diperbolehkan tidak berpuasa bagi yang melakukan perjalanan jauh dengan syarat keberangkatan perjalanan tersebut harus sebelum fajar. Juga tidak diperbolehkan tidak berpuasa bagi mereka yang selalu melakukan perjalanan tiap harinya seperti supir atau kondektur.

Derajat Hadist Sholat Tarawih 23 Raka'at


Hadits Pertama

"Artinya: Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam, shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka'at, [Hadits riwayat : Ibnu AbiSyaibah, Abdu bin Humaid, Thabrani di kitabnya Al-Mu'jam Kabir danAwsath, Baihaqi dan bnu Adi dan lain-lain]

Di riwayat lain adatambahan : "Dan (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) witir (setelah shalat dua puluh raka'at)". Riwayat ini semuanya dari jalan AbuSyaibah, yang namanya : Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakam dari Miqsamdari Ibnu Abbas.

Imam Thabrani berkata : "Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini".
Imam Baihaqi berkata : "Abu Syaibah menyendiri dengannya, sedang dia itu dla'if".
Imam Al-Haistami berkata di kitabnya "Majmauz Zawaid (3/172) : "Sesungguhnya Abu Syaibah ini dla'if".
Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata di kitabnya Al-Fath (syarah Bukhari) : "Isnadnya dla'if".
Al-Hafidz Zaila'i telah mendla'ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah (2/153).
Demikian juga Imam Shan'ani di kitabnya Subulus Salam (syarah Bulughul Maram)mengatakan tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan duapuluh raka'at.

Saya berkata : Bahwa hadits ini "Dlai'funJiddan" (sangat leamhf). Bahkan muhaddits Syaikh Muhammad NashiruddinAl-Albani mengatakan : "Maudlu". Tentang kemaudlu'an hadits ini telahbeliau terangkan di kitabnya "Silsilah Hadits Dla'if wal Maudlu" dan"Shalat Tarawih" dan "Irwaul Ghalil". Siapa yang ingin mengetahui lebih luas lagi tentang masalah ini, bacalah tiga kitab Al-Albani di atas,khususnya kitab shalat tarawih.

Sebagaimana telah kita ketahuidari keterangan beberapa ulama di atas sebab lemahnya hadits ini, yaknikarena di isnadnya ada seorang rawi tercela, yaitu Ibrahim bin UtsmanAbu Syaibah. Tentang dia ini, ulama-ulama ahli hadits menerangkankepada kita :
[1]. Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dan lain-lain : "Dla'if".[2]. Kata Imam Tirmidzi : "Munkarul Hadits".[3]. Kata Imam Bukhari : "Ulama-ulama (ahli hadits) mereka diam tentangnya" (ini satu istilah untuk rawi lemah tingkat tiga).[4]. Kata Imam Nasa'i dan Daulaby : "Matrukul Hadits".[5]. Kata Abu Hatim : "Dla'iful Hadits, Ulama-ulama diam tentangnya dan mereka (ahli hadits) meninggalkan haditsnya".[6]. Kata Ibnu Sa'ad : "Adalah dia Dla'iful Hadits".[7]. Kata Imam Jauzajaniy : "Orang yang putus" (satu istilah untuk lemah tingkat ketiga).[8]. Kata Abu Ali Naisaburi : "Bukan orang yang kuat (riwayatnya)'.[9]. Kata Imam Ad-Daruquthni : "Dla'if".[10]. Al-Hafidz menerangkan : "Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar".

Periksalah kitab-kitab :
[1]. Irwaul Ghalil, oleh Muhaddits Syaikh Al-Albani. 2 : 191, 192, 193.[2]. Nashbur Raayah, oleh Al-Hafidz Zaila'i. 2 : 153.[3]. Al-Jarh wat Ta'dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim. 2 : 115[4]. Tahdzibut-Tahdzib, oleh Imam Ibnu Hajar. 1 : 144, 145[5]. Mizanul I'tidal, oleh Imam Adz-Dzahabi. 1 : 47, 48

Hadits kedua.

"Artinya: Dari Yazid bin Ruman, ia berkata : Adalah manusia pada zaman Umar binKhattab mereka shalat (tarawih) di bulan Ramadlan dua puluh tigaraka'at". [Hadits Riwayat : Imam Malik di kitabnya Al-Muwath-tha 1/115]

Keterangan :Hadits ini tidak sah ! Ketidak sahannya ini disebabkan karena dua penyakit :

Pertama :

"Munqati"(Terputus Sanadnya). Karena Yazid bin Ruman yang meriwayatkan hadits ini tidak bertemu dengan Umar bin Khaththab atau tidak sezaman dengannya. Imam Baihaqi sendiri mengatakan : Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan Umar. Dengan demikian sanad hadits ini terputus. Sanad yang demikian oleh Ulama-ulama ahli hadits namakan Munqati'. Sedanghadits yang sanadnya munqati' menurut ilmu Musthalah Hadits yang telah disepakati, masuk kebagian hadits Dla'if yang tidak boleh dibuat alasan atau dalil.
Tentang tidak bertemunya Yazid bin Ruman ini dengan Umar telah saya periksa seteliti mungkin di kitab-kitab rijalul haditsyang ternyata memang benar bahwa ia tidak pernah bertemu atau sezaman dengan Umar bin Khattab.

Kedua.

Riwayat diatas bertentangan dengan riwayat yang sudah shahih di bawah ini :

Hadits Ketiga.

"Artinya: Dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, iaberkata : "Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay bin Ka'ab danTamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan sebelasrakaat".

Sanad hadits ini shahih, karena :[1]. Imam Malik seorang Imam besar lagi sangat kepercayaan yang telah diterima umat riwayatnya.[2]. Muhammad bin Yusuf seorang kepercayaan yang dipakai riwayatnya oleh Imam Bukhari dan Muslim.[3]. Sedang Saib bin Yazid seorang shahabat kecil yang bertemu dan sezaman dengan Umar bin Khatab.[4] Dengan demikian sanad hadits ini Muttashil/bersambung.

Kesimpulan.

[1].Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam shalat di bulan Ramadlan (shalat tarawih) 20 raka'at atau 21atau 23 raka'at tidak ada satupun yang shahih. Tentang ini tidaktersembunyi bagi mereka yang alim dalam ilmu hadits.

[2].Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khattab parashahabat shalat tarawih 23 raka'at tidak ada satupun yang shahihsebagaimana keterangan di atas. Bahkan dari riwayat yang Shahih kitaketahui bahwa Umar bin Khattab memerintahkan shalat tarawihdilaksanakan sebelas raka'at sesuai dengan contoh RasululullahShallallahu 'alaihi wa sallam [1].
[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-UstadzAbdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan keIII Th 1423/2002M]

Kelompok-kelompok Manusia Dalam Berpuasa


BERBUKA PUASA AGAR KUAT MELAKUKAN UMRAH BAGI MUSAFIR

Pertanyaan.SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Seorang musafir (dalamperjalanan) ketika sampai di Mekkah dalam keadaan berpuasa, bolehkah iaberbuka puasa agar kuat menunaikan umrah ?"

Jawaban.Padaputuh Mekkah tanggal 20 Ramadhan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallamsetibanya di Mekkah dalam keadaan berbuka dan shalat dua raka'at denganpenduduk Mekkah. Lalu beliau berkata : "Sempurnakanlah shalat kaliankarena kami kaum sedang menempuh perjalanan".
Menurut SyaikhulIslam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pada tahun tersebut dalam keadaan tidak berpuasa, yakni berbukaselama sepuluh hari di Mekkah pada perang penaklukan kota Mekkah.

DalamShahih Bukhari dari Ibnu Abbas diterangkan.
"Artinya : Beliau (Nabi) terus berbuka sehingga habis bulan".

Memangtak diragukan ketika itupun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalatdua raka'at karena keadaan beliau sebagai musafir. Oleh sebab itu, yanghendak umrah tetap dipandang sebagai musafir walau sudah tiba diMekkah, ia tak wajib imsak setibanya di sana, bahkan menurut kamisebaiknya ia jangan berpuasa agar kuat melakukan umrah, sebab umrahsangat melelahkan. Dalam kenyataan masih ada sebagian orang yang tetapmemaksakan diri berpuasa selama perjalanan hingga menemui kelelahanyang akhirnya mereka berkata sendiri, apakah perlu terus berpuasaataukah umrah ditangguhkan hingga berbuka (malam) ataukah terbaikberbuka puasa untuk melakukan umrah .?

Maka kami katakan bahwayang terbaik adalah berbuka puasa agar umrah dapat dilaksanakan segerasetibanya di Mekkah dalam keadaan segar. Cara inilah yang utama bagisetiap orang yang datang ke Mekkah untuk beribadah. Sebab NabiShallallahu 'alaihi wa sallam ketika memasuki kota Mekkah untukberibadah, beliau segera menuju mesjid dan menghentikan kendaraannya didekat mesjid sehingga beliau menuntaskan ibadahnya. Jika berbuka puasakarena ingin melakukan umrah dengan segar adalah lebih baik bagimu daripada tetap berpuasa dan menangguhkan umrah.

Dalam suaturiwayat diterangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berpuasadalam perjalanan menuju perang menaklukkan kota Mekkah. Lalu datangsekelompok orang dan berkata : "Hai Rasul Allah, orang-orangberkeberatan puasa dan mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan.Hal itu terjadi setelah shalat Ashar, akhirnya beliau meminta dibawakanair lalu diminumnya dan terlihat oleh mereka.

Dari riwayattersebut, terlihat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telahberbuka puasa sewaktu dalam perjalanan bahkan di petang hari menjelangsaat berbuka. hal itu dilakukannya karena tak ingin terjadi bahwa puasaakan memberatkan orang yang sedang menempuh perjalanan. Sebab jikapuasa di paksakan dalam menempuh perjalanan maka akan menyalahi maknasunnah. Maka bagi mereka berlakulah sabda beliau berikut.

"Artinya : Tidaklah baik orang yang berpuasa ketika menempuh perjalanan".

BOLEH BERBUKA PUASA KETIKA DALAM PERJALANAN

Pertanyaan.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Perjalanan apa yang membolehkan buka puasa .? [Salamah Razaq, Salamah, Mesir]

Jawaban.Perjalananyang membolehkan buka puasa dan qashar shalat adalah perjalananberjarak sekitar 83 setengah Km. Ada sebagian ulama yang tidakmenentukan jaraknya, tetapi terserah kepada kebiasaan masyarakat. RasulShallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qashar shalat ketika menempuhperjalanan tiga farsakh. Yang jelas perjalanan haram tak membolehkanqashar shalat atau buka puasa, sebab perjalanan maksiat tak pantasmendapat keringanan hukum (rukhsah). Tetapi ada pula sebagian ulamayang tak membedakan antara perjalanan yang dibenarkan dengan yang tidakkarena mereka menganggap dalil yang bersangkutan berlaku umum. Dalamhal ini, Allahlah yang Maha Mengetahui

BERSENGGAMA DI SIANG HARI RAMADHAN KETIKA DALAM PERJALANAN

Pertanyaan.SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang tiba di Mekkah dariAbha pada malam hari. Di pagi harinya, ia dibisikkan syaithan hinggabersenggama dengan istrinya, maka bagaimana hukumnya .?

Jawaban.Orang yang datang ke Mekkah bersama istrinya untuk beribadah umrah pada malamhari dan di pagi harinya berpuasa serta pada pagi tersebut terlanjurmelakukan hubungan suami istri, maka menurut kami mereka tidakdikenakan kewajiban selain mengqadha puasanya. Mereka tak berdosa dantak wajib kaffarat, sebab orang yang tengah menempuh suatu perjalanandibolehkan menghentikan puasanya, baik dengan cara makan, minum ataubersenggama. Berpuasa tidak wajib bagi yang menempuh perjalanansebagaimana firman Allah:
"Artinya : Maka jika di antara kamuada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblahbaginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hariyang lain". [Al-Baqarah : 184]

Karena itu, saya harapkan kepadasaudara-saudara yang diminta fatwa di Mekkah, umpamanya, bila ada yangbertanya bahwa ia telah bersenggama ketika sedang berpuasa. Maka yangpertama kali dipertanyakan adalah apakah ia sedang menempuh perjalananatau tidak .? Jika jawabnya "Ya", maka baginya tidak ada kewajiban lainselain qadla. Jika jawabannya "Tidak", yakni senggama dilakukan dikampung halamannya sendiri, maka keduanya menerima akibat ; [1] rusakpuasanya, [2] wajib imsak sepanjang hari terjadinya, [3] wajib qadlaatas puasanya, [4] berdosa, dan [5] wajib kaffarat, yaitu ;memerdekakan budak belian ; jika tak mampu, wajib berpuasa dua bulanberturut-turut ; jika tak mampu, wajib memberi makan enam puluh (60)orang miskin.

ORANG BOLEH BUKA PUASA KETIKA DALAM PERJALANAN

Pertanyaan.SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang berkata : "Jikasaya menempuh suatu perjalanan pada bulan Ramadhan, maka saya akanberbuka. Ketika sampai di suatu negeri yang akan saya singgahi beberapahari, maka saya akan menahan diri (imsak) pada hari pertama datang danhari-hari berikutnya, apakah bagiku ada keringanan (rukhsah) untukberbuka pada hari-hari tersebut .?

Jawaban.Memang bolehberbuka puasa bagi yang sedang menempuh perjalanan. Dalam hal sepertiitu tak ada kesempitan baginya sebagaimana telah di contohkan NabiShallallahu 'alaihi wa sallam ketika dalam perjalanan.

[Disalindari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-'Utsaimin, karya SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 182-186, terbitan Gema RisalahPress, alih bahasa : Prof. Drs. KH. Masdar Helmy]

Hal Yang Mewajibkan Puasa Ramadhan


Ada 5 perkara yang mewajibkan puasa Ramadhan, yakni : 
  1. Sempurnanya bulan Sya’ban selama 30 hari berdasarkan ru'yat.
  2. Melihat hilal bulan Ramadhan pada malam hari. Hal ini berlaku bagi mereka/individu yang merasa melihat hilal, walaupun dia sendiri mempunyai sifat fasiq atau kurang adil.
  3. Meyakini seseorang yang melihat bulan. Hal ini berlaku bagi mereka yang tidak melihat bulan, namun ada kabar dari seseorang yang adil kesaksiannya bahwa orang tersebut melihat bulan, lalu diyakini dan diikuti. Namun dengan syarat, kesaksian orang tersebut harus ditetapkan oleh hukum/pemerintah, tidak fasiq, bukan hamba sahaya dan harus laki-laki. Dalil tentang ini adalah hadits dari Ibnu Umar : 
    “Aku memberi kabar kepada Rosululloh bahwa sesungguhnya aku bersaksi telah melihat hilal. Lalu beliau puasa dan memerintahkan kaumnya untuk berpuasa”.
  4. Adanya kabar berita bahwa Ramadhan telah tiba, dari orang yang dipercaya dalam perkataanya (suami, tetangga, sahabat) atau dari orang yang kurang dipercaya dalam perkataanya tapi hati kita cenderung yakin akan kebenarannya, misalnya  kabar tersebut berasal dari orang fasiq, kafir, hamba sahaya atau pun anak kecil.
  5. Berdasarkan sangkaan telah masuknya bulan Ramadhan melalui ijtihad/dugaan. Contoh kasus terhadap orang-orang yang hidup di hutan belantara atau penjara pengasingan. 

Adapun berita dari golongan orang-orang yang melakukan puasa berdasarkan telah terbitnya bintang tertentu, maka hal tersebut tidak boleh diikuti, dan keputusan tersebut hanya wajib dilakukan bagi golongan dia sendiri.

Hal ini juga berlaku dalam menentukan waktu sholat atau bulan haji. Intinya, kita harus konsekuen dengan pendapat yang diyakini, jika kita mulai melakukan puasa berdasarkan melihat hilal, maka dalam menentukan jatuhnya hari terakhir puasa, harus berdasarkan hilal juga, tidak boleh mengikuti hisab, begitu pula sebaliknya.