Pemimpin Pondok Pesantrean Darul Mustfhoa di Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan, Habib Umar bin Hafiz Bin Syekh Abubakar (kiri) mengunjungi Habib Umar bin Hud al-Attas semasa hidup. (perserch.com)
Menjelang Isya, lalu lintas kendaraan di Jalan Raya Condet, Jakarta Timur, selebar enam meter itu masih padat benar. Laju sepeda motor dan mobil merambat di belakang pantat Metromini jurusan Kampung Melayu. Mengacuhkan bunyi klakson, tangan tiga pria muda itu tetap melambai menyeberangi jalan, memotong ramainya kendaraan. Sebab, cuma beberapa langkah saja sudah sampai di makam Habib Umar bin Hud al-Attas dan Habib Salim bin Ahmad Jindan.
Sampai di pintu kubah makam, mereka berjalan jongkok ke samping makam Habib. Seperempat menit mereka duduk tepekur membaca doa-doa, kemudian bangkit, bersalaman dengan juru kunci makam, Muhammad Jalaluddin Nurullah. Dua pria pulang, satu lagi bernama Udin tetap tinggal mendengarkan nasihat Wan Jalal, sapaan akrab cicit Habib Umar ini. "Saya sering ke sini, rutin," kata dia kepada merdeka.com.
Sebagai peziarah, warga Condet ini tak butuh waktu lama sampai ke makam. Cuma beberapa menit mengendarai sepeda motor. Kebetulan saja malam itu datang sendiri ke makam, biasanya dia ziarah ke sana bareng kawan-kawan dan keluarga. Apalagi menjelang Ramadan seperti ini, makam biasa ramai dikunjungi baik warga Jakarta dan luar kota.
Menurut Jalal, Habib Umar masih keturunan Nabi Muhammad. Lahir di Hadramaut, Yaman Selatan, sejak muda dia telah berpetualan, berdakwah sambil berdagang ke Indonesia. Mula-mula tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat, pada masa penjajahan Belanda. Sambil berdakwah, dia berjualan kain di Pasar Tanah Abang. Kemudian membuka pengajian dan majelis maulid di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat.
Di Jakarta, sang Habib tidak memiliki pengajian. Namun rumahnya tak pernah sepi. Banyak warga Jakarta datang meminta doa, berobat, hingga meminta pertolongan mencari kalung dan barang-barang hilang atau dicuri. Karena memiliki karomah tinggi, dekat dengan Allah, Habib Umar sudah biasa membantu menyelesaikan masalah-masalah warga. "Pernah ada orang kehilangan kalung datang. Sama beliau (Habib Umar) disuruh sabar dan berdoa, setelah pulang ke rumah, kalungnya ketemu nyangkut di pohon," kata dia.
Pada 1950-an, Habib pernah ke Mekkah dan bermukim beberapa tahun. Dia tertahan di Singapura ketika hendak balik ke Indonesia. Sebab saat itu sedang terjadi konfrontasi antara Indonesia Malaysia. Habib Umar baru kembali ke Tanah Air pada awal Orde Baru. Sekembalinya ke tanah air, semakin banyak orang datang ke rumah Habib. Konon, kata orang tua Jalal, ia memiliki sembilan Istri itu.
Habib Umar meninggal di usia 108 tahun di Condet dan dimakamkan di dalam kubah makam Condet bersama Habib Salim bin Ahmad Jindan, serta 18 kerabatya. Hingga kini, makam itu terus menjadi rujukan para pencari berkah, terutama saban menjelang Ramadan. Di masjid Al Hawi, seberang makam, juga ada acara khataman Alquran pada hari ganjil.
Habib (Umar) itu wali Allah mengajarkan pendidikan agama. Pahlawan tidak dikenal. Mereka mendidik hingga akhirnya warga jadi melek pendidikan, jadi pintar, lalu memberontak penjajahan. Makanya pemberontakan banyak diawali dari pesantren," tutur Jalal.
Sampai di pintu kubah makam, mereka berjalan jongkok ke samping makam Habib. Seperempat menit mereka duduk tepekur membaca doa-doa, kemudian bangkit, bersalaman dengan juru kunci makam, Muhammad Jalaluddin Nurullah. Dua pria pulang, satu lagi bernama Udin tetap tinggal mendengarkan nasihat Wan Jalal, sapaan akrab cicit Habib Umar ini. "Saya sering ke sini, rutin," kata dia kepada merdeka.com.
Sebagai peziarah, warga Condet ini tak butuh waktu lama sampai ke makam. Cuma beberapa menit mengendarai sepeda motor. Kebetulan saja malam itu datang sendiri ke makam, biasanya dia ziarah ke sana bareng kawan-kawan dan keluarga. Apalagi menjelang Ramadan seperti ini, makam biasa ramai dikunjungi baik warga Jakarta dan luar kota.
Menurut Jalal, Habib Umar masih keturunan Nabi Muhammad. Lahir di Hadramaut, Yaman Selatan, sejak muda dia telah berpetualan, berdakwah sambil berdagang ke Indonesia. Mula-mula tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat, pada masa penjajahan Belanda. Sambil berdakwah, dia berjualan kain di Pasar Tanah Abang. Kemudian membuka pengajian dan majelis maulid di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat.
Di Jakarta, sang Habib tidak memiliki pengajian. Namun rumahnya tak pernah sepi. Banyak warga Jakarta datang meminta doa, berobat, hingga meminta pertolongan mencari kalung dan barang-barang hilang atau dicuri. Karena memiliki karomah tinggi, dekat dengan Allah, Habib Umar sudah biasa membantu menyelesaikan masalah-masalah warga. "Pernah ada orang kehilangan kalung datang. Sama beliau (Habib Umar) disuruh sabar dan berdoa, setelah pulang ke rumah, kalungnya ketemu nyangkut di pohon," kata dia.
Pada 1950-an, Habib pernah ke Mekkah dan bermukim beberapa tahun. Dia tertahan di Singapura ketika hendak balik ke Indonesia. Sebab saat itu sedang terjadi konfrontasi antara Indonesia Malaysia. Habib Umar baru kembali ke Tanah Air pada awal Orde Baru. Sekembalinya ke tanah air, semakin banyak orang datang ke rumah Habib. Konon, kata orang tua Jalal, ia memiliki sembilan Istri itu.
Habib Umar meninggal di usia 108 tahun di Condet dan dimakamkan di dalam kubah makam Condet bersama Habib Salim bin Ahmad Jindan, serta 18 kerabatya. Hingga kini, makam itu terus menjadi rujukan para pencari berkah, terutama saban menjelang Ramadan. Di masjid Al Hawi, seberang makam, juga ada acara khataman Alquran pada hari ganjil.
Habib (Umar) itu wali Allah mengajarkan pendidikan agama. Pahlawan tidak dikenal. Mereka mendidik hingga akhirnya warga jadi melek pendidikan, jadi pintar, lalu memberontak penjajahan. Makanya pemberontakan banyak diawali dari pesantren," tutur Jalal.
0 komentar:
Posting Komentar